SUARA INDEPENDEN.COM, JAKARTA- Hari Kamis (17/11) untuk ketujuh kalinya semenjak 4 Agustus 2016, pihak pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Majalengka kembali merencanakan pengukuran untuk penggusuran terhadap desa Sukamulya bagi pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Bahkan sudah terjadi penggusuran yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, TNI dan Satpol PP atas perintah pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Majalengka.
Dari 11 desa yang yang terkena dampak penggusuran yang telah ditetapkan melalui SK Menteri Perhubungan No. 34/2005 yang diperbarui melalui KP 457 tahun 2012, 10 desa telah diratakan tanpa proses yang jelas. Desa Sukamulya merupakan satu-satunya desa yang masih memilih bertahan mempertahankan tanah dan kampungnya. Rencana pengukuran hari ini telah mengancam 1.478 KK dengan luas lahan lebih dari 500 ha di desa Sukamulya tergusur demi Proyek Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Kab. Majalengka Provinsi Jawa Barat.
Dalam hal ini Presidium GMNI melalui Komite Reforma Agraria, Desta Ardiyanto angkat bicara "penggusuran yang terjadi di Desa Sukamulya, Kab. Majalengka Provinsi Jawa Barat merupakan sebuah tindakan yang tidak manusiawi apalagi sempat diwarnai dengan ditembakkannya gas air mata dan terjadi bentrokan antara petani dan pihak dari pemerintah, seharusnya pihak pemerintah sebelum melakukan penggusuran melakukan dialog terlebih dahulu bersama dengan masyarakat karena negara ini merupakan negara yang Pancasilais yang seharusnya mengedepankan azas musyawarah mufakat, dan seharusnya pemerintah lebih berpihak kepada para petani ketimbang berpihak kepada kepentingan elit tertentu yang dimana sangat-sangat merugikan kepentingan rakyat khususnya petani".
Desta juga menambahkan "dengan tidak dijalankankanya proses-proses musyawarah antara dua pihak ini jelas telah melanggar prosedural dan tahapan yang tercantum dalam UU No.41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, yang dimana dalam UU perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan menegaskan bahwa pemerintah wajib melindungi semua lahan pertanian pangan dan melalui lahan tersebut pemerintah dapat mewujudkan kedaulatan pangan. Pemerintah juga melanggar UU No.19/2013, dalam UU No.19/2013 jelas ditagaskan bahwa petani yang luas tanahnya dibawah 2 hektar wajib dilindungi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Melihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tersebut saya menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang izin pendirian Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), dan pemerintah dapat pula mempertimbangkan dampak lebih luas secara sosial ekonomi bagi kedaulatan dan kesejahteraan warga petani, jangan terkesan pemerintah lebih senang untuk menindas rakyatnya dengan cara-cara intimidasi dan penggusuran”.
Tindakan sepihak pemerintah ini juga telah melanggar peraturan UN Basic Principles and Guidelines on Develpoment Based Evictions dan Displacement. Sebuah kebijakan yang menekankan pentingnya memelihara hak-hak warga yang digusur demi kepentingan pembangunan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Dalam hal ini Presidium GMNI menyatakan sikap "mengutuk keras penggusuran warga dan petani di Desa Sukamulya yang dilakukan oleh TNI, Polri, Satpol PP dan pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Majalengka, mendesak pemerintah Jokowi-JK agar segera melakukan Reforma Agraria sejati sesuai dengan UUPA No.5/1960 melalui UU turunannya yakni UU Landreform yang menjamin tanah untuk keluarga petani minimum 2 hektar, dan mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi kekerasan yang dilakukan oleh aparatur Negara baik TNI, Polri maupun Satpol PP terhadap warga dan petani di Desa Sukamulya, Kab. Majalengka Provinsi Jawa Barat”, tegas Desta Ardiyanto Komite Reforma Agraria (Presidium GMNI).
Jumat, 18 November 2016
Jurnalis: Asso
Editor: Suharno