Foto: M. Bilal Al Farizy |
SUARA INDEPENDEN.COM, JAKARTA- Banyak yang beropini bahwa masa muda adalah era mencari jati diri, era kelabilan emosional yang berimbas pada suatu perbuatan. Untuk sebagian besar orang beranggapan bahwa itu benar, karena korbannya sedang mengalami goncangan budaya pada masa transisinya sebagai manusia. Dalam era tersebut, tersungkur ke Lubang Hitam adalah sebuah hal yang mengacaukan sistim kepribadiannya sebagai manusia muda yang notabene masih digandrungi kelabilan emosional. Sudah banyak kita jumpai tentang persoalan yang menyangkut budaya yang tidak semestinya dilakukan dalam masyarakat, itulah salah satu ketakutan saya. Dehumanisasi merajarela, antroposentris mulai mengembangbiak dan ecosophy belum dipahami. Walaupun banyak yang tidak mengerti apa yang saya maksud dengan kata-kata yang cukup asing bagi telinga anda barusan, namun sebagian besar muda-mudi yang saya lihat pada keseharian saya sudah cukup membuat saya mengerti dan sadar tentang kata-kata tersebut dalam konteks berbudaya dalam masyarakat dan alam. Dengan judul yang agak sedikit berat karena menyinggung tentang budaya, izinkanlah saya memberikan pendahuluan untuk membuka mata anda tentang kondisi kita saat ini di masyarakat berdasarkan yang saya lihat dengan potret saya sendiri.
Sedikit saya mengutip dari buku Manusia & Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, tentang IBD, yaitu akronim dari Ilmu Budaya Dasar, salah satu disiplin ilmu yang membuat manusia muda menjadi manusia yang berprikemanusiaan. Dengan ini manusia dididik untuk memanusiakan manusia. Ilmu ini tidak berdiri sendiri seperti ilmu filsafat, sosiologi, matematika namun disiplin ilmu ini lebih seperti gado-gado yang berarti campuran dari beberapa disiplin ilmu. Yang diharapkan dari Basic Humanities atau yang tadi kita ketahui dengan sebutan IBD adalah seperti si manusia muda lebih memiliki rasa minat dan kebiasaan untuk menyelidiki apa yang terjadi dalam masyarakat sehingga menimbulkan sikap kritis terhadapnya yang berdampak pada bangkitnya kehumanisasian terhadap masyarakat. Namun dibelakang ini semua adapula problema tentang terjungkalnya taraf pendidikan yang hanya menciptakan manusia seperti mesin yang diprogram secara cerdas dan canggih tetapi kurang memiliki common sense yang baik terhadap masyarakat. Seharusnya perbandingan antara kecerdasan intelektual dan rasa kemanusiaan haruslah berbanding seimbang. Banyak saya jumpai tentang sekelompok sukarelawan yang biasa disebut volunteer bergerak dengan kerja cerdas dan kerja ikhlas dalam membangun suatu daerah yang masih terisolasi dan juga masih jarang dari sentuh tangan pemerintah. Tidak usah kita kupas tentang bagaimana volunteer itu menerapkan kerja ikhlas dalam menangani dan membantu para saudara kita, karena sudah jelas ini adalah masalah tentang rasa hati nurani dan kemanusiaan terhadap sesama maupun makhluk yang lain. Mengapa kita belum bertindak seperti para volunteer yang tadi? Berat memang, untuk mengangkat sampah dan menaruh di tempatnya saja masih tidak mengerti caranya walapupun sudah banyak juga slogan-slogan yang menghimbau masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, tapi apalah sebuah kata-kata tanpa diiringi dengan lisan jiwa.
Saya telah bertanya kepada teman-teman saya tentang apa yang kurang dari Indonesia, dan kebanyakan jawaban yang saya terima adalah jawaban klasik seperti kekurangan orang jujur ataupun korupsi yang semakin meresahkan masyarakat yang sehari hari kita saksikan di televisi. Inilah yang saya sedikit sorot, mengapa akhir-akhir ini media selalu menggembar-gemborkan masalah politik yang pada endingnya orang politik pula yang melakukan tindak korupsi. Saya yakin sekali didalam pemerintah terdapat manusia-manusia dengan keintelektualan super yang berlabelkan gelar-gelar. tapi ingat, haruslah diseimbangkan antara kecerdasan dengan budi pekerti yang baik pula tuan. Jika tadi adalah keluhan tentang apa yang kurang dari bangsa Indonesia menurut sebagian teman saya, lalu apa yang sedang terjadi pada indonesia sendiri?
Disatu pihak Indonesia diuntungkan dengan adanya pluralisme budaya. Dengan adanya hal itu mengindikasikan bahwa Indonesia kaya dengan ragam budaya seperti seni, adat istiadat, agama maupun suku yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Namun dalam pemikiran lain, pluralisme masih menjadi pemicu utama perpecahan pada bangsa ini. Hal ini karena masih melekatnya fanatisme budayanya masing-masing , seperti contoh kasus kebudayaan dari suku B lebih rendah menurut pandangankebudayaan suku A hingga timbul perpecahan pada suatu bangsa. Jelas suatu hal yang sangat bertolak belakang pada tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia itu sendiri. Bisa menjadi suatu paradoks karena memang keduanya telah terlaksana dengan fakta yang telah kita dengar pada media. Selain pluralisme, ada hal yang cukup menarik, yaitu tentang pergeseran nilai budaya. Dari kata tersebut pasti anda dapat mereka-reka. Pergeseran nilai budaya mutlak sedang dialami bangsa Indonesia. Indikatornya sudah banyak, seperti pembangunan nasional yang menggebu-gebu. Pembangunan pula mendorong transpormasi sosial dan peningkatan taraf hidup yang layak terjadi belakangan ini pasca reformasi. Di belakang pembangunan nasional, beriringan pula dengan pergeseran nilai-nilai lama yang dianggap sudah kedaluarsa dan sudah tidak cocok lagi dengan taraf hidup yang sekarang, namun nilai-nilai baru pun belum jelas sosok dan bentuknya. Ironis. Krisis nilai budaya kah? Anda yang dapat menjawabnya.
Antroposentris, begitulah pandangan saya terhadap masyarakat sekarang. mereka menganggap alam diciptakan untuk semua kepentingan manusia semata dan menganggap bahwa merekalah spesies paling pusat di alam ini. Mereka lupa kalau sedang hidup berdampingan dengan tumbuhan maupun hewan, alam pun harus diseimbangkan kedudukannya. Contoh kecil, eksploitasi alam dengan tidak memikirkan ekosistem pada suatu daerah akan menimbulkan suatu problema bagi daerah tersebut yang entah itu berupa bencana yang ditimbulkan oleh alam itu sendiri karena dirusak maupun dari limbah dari Si tukang eksploitas alam. Kendeng Lestari misalnya, yang kita ketahui adalah negara kita ini adalah negara agraris, namun apa yang sedang terjadi di kendeng? pabrik semen yang sudah mendapat izin Gubernurnya (No. 660.1/ tahun 2017) itu akan membetoni hamparan sawah milik petani Kendeng, Jawa Tengah. Jika sudah terealisasikan, lalu apa yang terjadi kepada petani? apa yang terjadi pada ekosistem alamnya? ada sebab maka ada akibat. Produktivitas masyarakat tani setempat, ratusan sumber mata air, gua, bahkan sungai bawah tanahnya pun bisa menjadi akibat. dimana letak prikemanusiaan mereka? Si tukang eksploitas. Mungkin saya kira mereka harus belajar tentang Antropologi, Ilmu Tanah maupun Sosiologi minimal masing-masing 3 SKS.
Telah saya singgung diatas bahwasanya tentang ecosophy, Secara garis besar, ecosophy dapat artikan sebagai kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai rumah tangga dalam arti luas. Kearifan dapat menjelma sebagai pola hidup, melakukan pendekatan dengan lingkunganya sehingga hidup selaras bersama makhluk yang lain. Mungkin sampah-sampah yang selalu jadi problematik dapat dengan lenggang masuk kedalam tempat sampah jika masyarakatnya paham mengenai hal ini. Bayangkan meredanya sampah pada air laut di kawasan Muara Angke, membiru air lautnya karena manusiannya cinta terhadap apa yang ada di dalam air lautnya maupun air lautnya sendiri. Kapan itu semua bisa terealisasika? TANYAKAN PADA DIRI ANDA SEKARANG. sudah seberapa pedulikah anda dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT.
"Kita adalah pemuda, Ayo produktif, jangan hanya konsumtif. Budaya yang positif itu perlu, tegur sapa itu harus dan mencintai lingkungan dan masyarakatnya adalah suatu kearifan.
Ditulis Oleh: M.Bilal Al Farizy
Kamis, 13 April 2017
Editor: Dedy Haryono